Jangan
Malu Hidup Sederhana
9/1/2012 | 14 Shafar 1433 H | Hits:
2.679
dakwatuna.com - Kemarin, secara tak sengaja saya menonton acara “Mamah
Dedeh on the street” dan dengan tema yang cukup menarik perhatian saya
yaitu Jangan malu hidup sederhana. Mungkin terdengar tak bermakna
apa-apa atau bahkan hanya menjadi lalu lalang bagi yang tak memperhatikannya.
Tapi sesungguhnya makna kalimat tersebut sangatlah dalam.
Kalimat itu mengingatkan saya akan
kesederhanaan yang teramat sangat yang di alami oleh Junjungan kita Rasulullah
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalaam.
Dalam suatu kisah Rasulullah :
Suatu hari ‘Umar bin Khaththab RA
menemui Nabi saw. di kamar beliau, lalu ‘Umar mendapati beliau tengah berbaring
di atas sebuah tikar usang yang pinggirnya telah digerogoti oleh kemiskinan
(lapuk).
Tikar membekas di belikat beliau,
bantal yang keras membekas di bawah kepala beliau, dan kulit samakan membekas
di kepala beliau.
Di salah satu sudut kamar itu
terdapat gandum sekitar satu gantang. Di bawah dinding terdapat qarzh (semacam
tumbuhan untuk menyamak kulit).
Maka, air mata ‘Umar bin Khaththab
RAmeleleh dan ia tidak kuasa menahan tangis karena iba dengan kondisi Nabi
saw..
Lalu Nabi saw. bertanya sambil
melihat air mata ‘Umar RA yang berjatuhan, “Apa yang membuatmu menangis, Ibnu
Khaththab?”
‘Umar RA menjawab dengan kata-kata
yang bercampur-aduk dengan air mata dan perasaannya yang terbakar, “Wahai Nabi
Allah, bagaimana aku tidak menangis, sedangkan tikar ini membekas di belikat
Anda, sedangkan aku tidak melihat apa-apa di lemari Anda? Kisra dan kaisar
duduk di atas tilam dari emas dan kasur dari beludru dan sutera, dan
dikelilingi buah-buahan dan sungai-sungai, sementara Anda adalah Nabi dan
manusia pilihan Allah!”
Lalu Nabi saw. menjawab dengan
senyum tersungging di bibir beliau, “Wahai Ibnu Khaththab, kebaikan mereka
dipercepat datangnya, dan kebaikan itu pasti terputus. Sementara kita adalah
kaum yang kebaikannya ditunda hingga hari akhir. Tidakkah engkau rela jika
akhirat untuk kita dan dunia untuk mereka?”
‘Umar menjawab, “Aku rela.” (HR.
Hakim, Ibnu Hibban dan Ahmad)
Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Umar
berkata, “Wahai Rasulullah, sebaiknya Anda memakai tikar yang lebih lembut dari
tikar ini.”
Lalu, Nabi saw. menjawab dengan
khusyuk dan merendah diri, “Apa urusanku dengan dunia? Perumpamaan diriku
dengan dunia itu tidak lain seperti orang yang berkendara di suatu hari di
musim panas, lalu ia berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian ia pergi dan
meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi)
******
Jika kehidupan tauladan kita saja
sangat sederhana, bahkan jauh di bawah kita, mengapa kita yang masih
dapat memikirkan makanan apa yang akan di makan besok lalu mengeluh mengenai
kekurangan secara materi yang terkadang tak beralasan. Karena kata Rasulullah
pun kebaikan sejati untuk umat muslim di tunda atau bukan di dunia melainkan di
akhirat kelak. Karena Allah Maha Mengetahui, bahwa dunia adalah persinggahan.
Jadi tak perlu menggadaikan akhirat yang lebih kekal dengan kebaikan yang
berlimpah yang telah Allah persiapkan bagi orang beriman dengan kemewahan dunia
yang hanya sementara.
Jauh berbeda apa yang saya lihat di
zaman ini, pemimpin (yang notabene adalah wakil rakyat) justru mendapat
fasilitas yang sangat mewah. Terlebih lagi dengan apa yang di dapat, mereka tak
pernah merasa cukup. Bahkan terus menerus berusaha memperkaya diri dengan
berbagai cara. Berbeda dengan rakyat yang mereka pimpin, begitu menderita.
Bahkan tembok harta telah membuat batas yang tak bisa di bendung saking
tebalnya. Sangat berbeda dengan pemimpin kita Rasulullah Muhammad
Shallahu’alaihi wassalaam.
Salah satu penyebab mengapa
banyaknya ketimpangan sosial yang terjadi adalah sifat malu yang teramat
sangat. Memang benar malu adalah sebagian daripada iman. Tapi malu yang
bagaimana? Jikalau malu untuk berbuat maksiat kepada Allah itu bisa di sebut
malu yang merupakan sebagian daripada iman. Tapi malu yang tidak diperbolehkan
yaitu malu untuk hidup sederhana. Mengapa ?? karena bisa saja dengan bersikap
sederhana meskipun Allah menganugerahkan harta yang berlimpah dapat mengurangi
kesenjangan sosial. Misalnya, tak ada lagi ajang pamer kemewahan di jalan raya
dengan berlomba mengendarai transportasi yang canggih, pakaian-pakaian mewah
dengan perhiasan mentereng atau telepon genggam mahal yang berseliweran di
jalan yang mampu mengundang para penjambret dadakan (karena terkadang mereka
para penjambret bukan sengaja melakukan kejahatan tapi terpaksa karena
terdorong ekonomi yang sulit) untuk beraksi. Karena sederhana bukan berarti
hina. Dengan kesederhanaan kita mampu merasakan apa yang terjadi pada
orang-orang yang kurang beruntung di banding kita. Selain itu akan melatih hati
kita untuk peka akan keadaan sekitar. Sesungguhnya ujian bukan hanya melalui
kesulitan tapi juga bisa melalui harta berlimpah. Jika tak pandai kita
mengelolanya maka bencana yang akan di dapat.
Karena Allah hanya melihat seseorang
dari ketaqwaannya dan bukan dari melimpahnya harta yang di miliki. Orang yang
sebenarnya kaya adalah orang yang sederhana namun memiliki sifat mulia. Bahkan
harta tak mampu membuatnya berpaling dari Allah.
Allahua’lam.